Rabu, 08 Desember 2010

NU, Sejarah dan Paham Keagamaan


Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

[sunting] Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.


Sumber http://id.wikipedia.org

Melihat Nasib TKI Di Arab

Oleh Abdurrahman Wahid(Gus Dur)

Yang dimaksudkan dengan TKI dalam tulisan ini, adalah tenaga kerja Indonesia. Misalnya TKI yang bekerja di Saudi Arabia (SA) dan negeri-negeri Arab lainnya, seperti di Kuwait dan negara-negara lain di kawasan Teluk Arab. Pada umunya, mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sopir atau bekerja kasar lainnya.

Kita sudah banyak mendengar tentang mereka, bahkan belum lama ini suasana dibuat geger oleh seorang TKI perempuan yang membunuh majikannya di sebuah negara Teluk. Dalam kejadian yang mengemparkan itu, sang TKI dijatuhkan hukuman mati, karena terbukti melawan dengan senjata tajam, ketika ia hendak diperkosa oleh sang majikan.Walaupun kemudian ia dibebaskan, oleh sebuah keputusan politik dari negara tersebut, persoalannya tetap saja menjadi "pemikiran" kita. Bukankah masih ada ribuan hal-hal seperti itu terjadi dibanyak tempat dalam kawasan tersebut?

Penulis teringat apa yang diceritakan oleh seorang TKI yang dalam perjalanan pulang ke tanah air? Kata perempuan ini, beberapa tahun yang lalu kepada penulis, ia tiap hari diberi makanan daging kambing muda karena itu memang makanan keluarga yang mempekerjakannya. Karenanya ia lalu merasakan gairah seksual yang sangat besar, dan ini berujung pada hubungan badani antara dirinya dan anak lelaki sang majikan yang hampir sama usianya. TKI itu "cukup beruntung" karena tidak sampai hamil oleh anak sang majikan itu. Dan karena ia tahu bahwa semakin lama semakin dekat hubungan mereka, sedangkan ia tidak kunjung dilamar untuk dijadikan istri oleh anak lelaki itu, akhirnya ia putuskan untuk pulang ke Tanah Air saja. Itupun penulis tidak tahu, akan "berbahagiakah" ia untuk kawin dengan seorang pria Indonesia, karena bagaimanapun juga ia terbiasa dengan "ukuran fisik" serba besar yang mungkin ia tidak temui di Tanah Air. Walaupun hanya sekali itu saja kami bertemu, kejadian lebih dari sepuluh tahun lalu itu, masih ada di benak penulis. Karena itu, dapat dimengerti "kehebohan" kalangan masyarakat dengan kejadian demi kejadian serupa di kawasan itu.

Begitu juga dalam bentuk lain, TKI kita di kawasan tersebut banyak yang mengalami kejadian demi kejadian yang membuat mereka bertanya-tanya tentang "keabsahan" keputusan untuk bekerja di kawasan tersebut. Ada yang harus menahan hinaan dari pihak majikan dan keluarganya, tetapi ada pula yang mengalami "keberuntungan" yang tidak terduga. Contohnya, seorang sopir/pengemudi menabrak seorang pemuda di SA hingga meninggal dunia. Sesuai dengan hukum pidana yang berlaku, ia harus memperoleh pengampunan dari orang tua korban dan ternyata pemuda itu adalah anak tunggal dari orang tersebut. Ketika permintaan pengampunannya ditolak oleh keluarga tersebut, karena sang keluarga tidak setuju dengan diyat/penggantian materi, jelas ia harus dihukum pancung. Ketika ia akan dihukum pancung, sang keluarga juga hadir menyaksikan. Pada saat itu, sang terpidana meminta kepada kepala keluarga agar memberitahukan anak dan istrinya di Tanah Air tentang hal itu. Langsung saja sang kepala keluarga yang kehilangan anak tunggal itu, menangis dan memeluknya, dan menyatakan kepada algojo yang akan menunaikan tugas, bahwa ia memberikan maaf dan membatalkan tuntutan pidana, sehingga sang terpidana menjadi bebas dan diangkat anak olehnya. Sekarang ia hidup mewah sebagai anak pungut orang itu, dan setiap tahun dikunjungi oleh keluarga itu di Tanah Air. Persoalannya bagi kita, manakah yang lebih banyak antara hal-hal yang ‘tidak mengenakkan" dan kejadian demi kejadian yang menunjukkan "keberuntungan" bagi TKI kita?.

*****

Apa yang diuraikan di atas, menunjukkan kepada kita bahwa sangat berbahaya untuk melakukan generalisasi (ta'mim) dalam persoalan TKI di kawasan tersebut. Apalagi di dalamnya tersangkut juga dua hal sangat penting. Pertama, masyarakat kawasan tersebut sangat memerlukan TKI-TKW, sedangkan di pihak lain para TKI memerlukan pekerjaan yang ada di kawasan tersebut dengan resiko yang demikian tinggi. Dengan angka pengangguran yang amat tinggi di Tanah Air kita, dapatkah pemerintah melarang TKI untuk tidak bekerja di kawasan tersebut? Sesuaikah larangan tersebut dengan hak-hak asasi manusia? Belum lagi kalau diingat, mungkin dengan penghasilan yang diterima, para TKI tersebut akan meningkatkan taraf/standar kehidupan mereka di kemudian hari.

Karena itu yang dapat kita/perbuat adalah meningkatkan jaminan sosial dan hukum bagi mereka. Hal itu, umpamanya dengan "meniru" Kedubes India di SA yang memaksa para pengusaha yang mengurusi soal-soal tenaga kerja di negeri itu, untuk menyediakan "jaminan pinjaman" sebesar US$ 5.000, untuk keperluan pemulangan tenaga-tenaga kerja itu ke tanah airnya jika terjadi sesuatu atas diri mereka. Namun hal ini juga terkait dengan sistem penggajian pejabat-pejabat negeri kita dewasa ini, yang sering membuat mereka melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji terhadap para TKI yang bekerja di kawasan tersebut. Ini adalah sesuatu hal yang pelik untuk diputuskan oleh kita sebagai bangsa, jelas dari apa yang diuraikan di atas. Bahkan, mungkin juga yang terjadi jauh lebih rumit daripada gambaran tersebut.

Diantara hal-hal yang harus diperhatikan, adalah perbedaan status antara TKI dalam pandangan orang-orang dan keluarga sang majikan di kawasan itu. Ada yang menganggap TKI sebagai anggota keluarga dan memberikan kepada mereka hadiah dari yang paling murah hingga paling mahal ketika para TKI itu mengakhiri tugas dan akan kembali ke tanah air. Namun, ada pula yang tidak memperoleh apa-apa, bahkan yang didapat adalah hinaan demi hinaan dan hal-hal yang tidak baik lainnya. Penulis teringat akan film karya William Saroyan berjudul "Armenian-American" tentang orang-orang Turki yang pindah ke dunia baru Amerika, ternyata banyak yang sama pengalaman mereka dengan TKI kita, walaupun berbeda status dan pekerjaan mereka.

Hal-hal yang disebutkan di atas di latar belakangi oleh perbenturan dua budaya masyarakat yang sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Tentu saja penulis sangat setuju dengan dua buah pendapat. Pertama pemberangkatan TKI ke kawasan tersebut hanya bersifat sementara. Dan secara bertahap kesempatan itu hanya dibuka untuk orang-orang yang memiliki skill/kebolehan tertentu dan terdidik secara formal untuk kerja-kerja yang mereka lakukan. Kedua yang harus diingat adalah perlindungan hukum bagi para TKI yang semakin lama semakin baik agar hak-hak asasi manusia (HAM) mereka terjaga dengan baik. Ini memang mudah dikatakan, tetapi jelas sangat sulit dilaksanakan, bukan?


Sumber http://www.gusdur.net